What I’ve Done

•June 16, 2011 • Comments Off on What I’ve Done

The Catalyst

•June 16, 2011 • Leave a Comment

 

“Kesakitan” Pancasila

•June 14, 2011 • Leave a Comment

Continue reading ‘“Kesakitan” Pancasila’

Pengamat Sosial : Anarkisme Tanda Rakyat Kecil Tertekan

•June 17, 2011 • Leave a Comment

Fenomena kekerasan terhadap aparat ketertiban dan keamanan selama ini merupakan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum yang dilakukan oleh Negara.

Hal ini dipaparkan seorang pengamat sosial, Rahmat Kurnia, Kepada RRI, Jumat (17/6).  Menurut Rahmat, kasus umum yang biasa terjadi ketika muncul perlawanan karena  beberapa tindakan penggusuran tidak disertai pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini terkesan tidak ada upaya kompromi dan toleransi yang ditunjukkan oleh aparatur negara.

Selain itu, penyebab lain munculnya aksi kekerasan disebabkan  karena adanya faktor kesenjangan sosial dan ekonomi yang cukup mencolok di masyarakat.

“Berbicara kesenjangan ini menyangkut masalah perut. Orang kalau berbicara perut pasti akan lupa segalanya karena ini termasuk ke dalam kebutuhan pokok. Ini menyangkut masalah hidup, kalau sudah menyangkut masalah perut tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi,” jelas Rahmat.

Parahnya lagi, lanjut Rahmat, seringkali ketika masyarakat bawah menuntut keadilan di meja hijau, mereka tidak mendapatkan rasa keadilan yang cukup.  Hal ini dikarenakan  proses-proses pengadilan tidak lagi berorientasi kepada kebenaran namun  lebih berpihak  kepada pemilik modal besar atau kalangan konglomerat.

“Apalagi kalau digabung, kesenjangan ditambah ketidakadilan. Ketika menuntut keadilan, tidak ada rasa keadilan karena pengadilannya tidak berpihak lagi kepada kebenaran tetapi berpihak kepada uang,” jelasnya.

Akibatnya, ketika orang merasa di bawah tekanan, satu-satunya cara untuk membela diri ialah melalui aksi kekerasan. Ia juga tidak menampik bahwa aksi kekerasan dapat dipicu oleh sifat atau karakter asli seseorang. Namun, tandasnya, kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat bawah pada umumnya adalah suatu bentuk  perlawan terhadap ketidakadilan dan oleh ketimpangan-ketimpangan yang  menyangkut  hak dan kebutuhan dasar. (Lj-Nata)

Denny Indrayana: Upaya Ekstradisi Tidak Mudah Dilakukan

•June 15, 2011 • Leave a Comment

KBRN, Jakarta : Upaya ekstradisi tersangka pelanggaran hukum  Indonesia yang lari di ke luar negeri cukup sulit dilakukan.  Pasalnya, teknik hukum internasional sangat komplek dan ketentuan ekstradisi  tidak  diterapkan oleh beberapa negara.

Pernyataan ini dituturkan Sekretaris Satuan tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum,Denny Indrayana dalam dialog Pro3 RRI, Rabu (15/06). Ia menambahkan, dari beberapa pengalaman ekstradisi internasional selama ini, hanya beberapa upaya ekstradisi yang berhasil dilakukan, itupun atas permintaan pribadi.

“Berdasarkan pengalaman internasional, memang orang yang lari ke luar negri sulit kembali. Kecuali dengan willing list sendiri seperti di  beberapa  kasus semisal kasus Oky beberapa tahun silam , kasus di Hongkong dan beberapa kasus lain. Kalau dari awal ingin melarikan diri, bagi Negara-negara yang sudah diatur  tanpa ekstradisi, dan segala teknik hukum internasionalnya yang komplek memang ini tidak mudah”, tuturnya.

Untuk itu ia menyarankan upaya pencegahan awal bagi pelanggar hukum yang akan melarikan diri ke luar negeri. “Yang harus diantisipasi lebih cepat ya harus dicegah dulu sebelum ke luar negri. Jadi sistemnya yang harus diperbaiki”, jelasnya.

Sementara itu, terkait Singapura yang menjadi pilihan tempat pelarian, Denny menilai fenomena ini justru sebagai hal yang positif bagi penegakan hukum di Indonesia. Pasalnya, pelarian beberapa koruptor ke negara yang tingkat korupsinya terkenal cukup  rendah tersebut merupakan pertanda bahwa upaya penegakan hukum selama ini cukup efektif.

“Kita bisa melihat semuanya dengan sudut pandang optimisme, dengan larinya Nunun, Nazarudin dan kawan- kawan ,  justru menunjukkan Indonesia dengan KPKnya, dengan civil societynya, peran mediaianya yangg terus meyorotin pemberantasan korupsi ternyata membawa efek jera. Bahkan Singapura yang diklaim tingkat korupsinya  lebih rendah dari Indonesia  jadi tempat pilihan pelarian para koruptor Indonesia.  Dengan kata lain, bahkan Singapura lebih merupakan surga bagi koruptor  kita”, imbuhnya. (Nata)

Denny Indrayana: Satgas Tak Berwenang Buru Nunun

•June 15, 2011 • Leave a Comment

KBRN, Jakarta : Meskipun Nunun Nurbaeti resmi menjadi buronan polisi Indonesia dan polisi  internasional serta beberapa institusi penegak hukum lainnya, namun hal ini tidak membuat Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum serta merta ikut dalam perburuan istri Adang Dorodjatun tersebut.

Hal ini dituturkan salah Sekretaris Satgas Mafia Hukum, Denny Indrayana, dalam dialog bersama Pro 3 RRI, Rabu (15/06). Denny berangapan pihaknya terbentur masalah batas-batas dan kewenangan dalam memburu tersangka kasus suap cek pelawatan itu.

“Kalau memang Ketua Satgas mengatakan tidak akan menangkap karena Satgas tidak punya kewenangan dalam menangkap. Misalnya ada warga negara Indonesia yang bertemu dengan Bu Nunun atau tersangka buron lain di luar negri, kalau ditanya mau apa tidak untuk menangkap, setiap warga negara tentunya mau bahkan sudah kewajiban untuk membantu. Tetapi kalau batas kita tidak bisa menangkap ya karena bukan kewenangannya. Jangankan Satgas atau polisi bahkan KPK juga tidak bisa menangkap karena bukan wilayahnya,” paparnya

Denny menjelaskan hal tersebut  untuk membedakan antara aspek normatif dan semangat pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Satgas. “Jadi ini memang harus diclearkan, kapan harus dijawab seara normatif, kapan harus dijawab secara semangat pemberantasan mafia,” ucap Denny.

Denny menambahkan, aksi perburuan Nunun kali ini berbeda dengan penangkapan Gayus beberapa waktu silam. Menurutnya, penangkapan Gayus memang merupakan fokus dan kewenangan pihak Satgas. Ia juga tidak menampik  bahwa penangkapan Gayus juga merupakan bentuk koordinasi dan komunikasi dengan pihak-pihak terkait lainnya.

“Pada waktu Satgas ke Singapura, kami berkoodinasi dengan polisi untuk menangkap Gayus. Tetapi kalau kita bertemu dengan Gayus di Plaza Singapura  itu faktor luck. Saya juga tidak habis pikir kenapa Gayus ada di situ. Tapi kita lihat cara menyamarnya Gayus sangat mudah untuk mengidentifikasi penyamarannya dan ada satu kesempatan juga orang bisa ceroboh,” ungkap Denny.(Nata)

 

 

Tangkap Nunun Rame-Rame Perlu Koordinasi

•June 15, 2011 • Leave a Comment

KBRN, Jakarta : Satgas Mafia Hukum, Denny Indrayana, menyatakan, aksi perburuan dan penangkapan Nunun Nurbaeti merupakan kewenangan penuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun demikian, tambahnya, tidak menutup kemungkinan bantuan institusi lain untuk melakukan pencarian dan perburuan selama ada koordinasi dan komunikasi secara berencana.

Hal itu dituturkan Denny dalam kesempatan dialog bersama Pro3 RRI, Rabu (15/06) terkait kemungkinan aksi Satgas dalam pencarian dan penangkapan istri Adang Dorodjatun tersebut.  “Kasus ini dari awal tanggung jawab KPK, jadi kalau Satgas mau menangkap ya harus dikoordinasikan dengan KPK,” ujar Denny.

Namun untuk menjaga kerahasiaan Denny tidak dapat mencontohkan lebih jauh mengenai koordinasi yang dilakukan antara pihak-pihak terkait yang mempunyai tujuan yang sama.

“Karena ini rahasia, apabila dalam konteks mencari orang yang melarikan diri, kalau dibocorkan ya tidak efektif, karena buronanya akan lari terus,” jelasnya.

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri, Komisaris Besar Ketut Untung Yoga Ana juga menekankan perlunya koordinasi dan komunikasi semua pihak dalam upaya penangkapan dan ekstradisi. Pernyataan ini disampaikan Kombes Untung Yoga  terkait penerbitan repnotis (surat penangkapan) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini.

“Inikan koordinasi, unsur formalitasnya jadi tetap semua koodinasi, tetapi kalau koordiansi saja tanpa surat resmi ya tidak bisa”, jelasnya.

Menurutnya, repnotis dikeluarkan untuk mempermudah mekanisme dan prosedur penangkapan buronan yang berada di negara lain.  “Nunun masuk ke situs Interpol, akan ada mekanisme untuk identifikasi dan pencarian tentang kejahatan korupsi bisa diterapkan prosedur yang berlaku di Interpol,” jelasnya. (Nata)

Eva Sundari : Parpol Bagian dari Permasalahan Hukum

•June 13, 2011 • Leave a Comment

KBRN, Jakarta : Partai politik dan parlemen justru menjadi bagian dari permasalahan hukum di Indonesia. Hal ini menyebabkan transformasi masyarakat untuk menjadikan budaya intoleransi terhadap korupsi menjadi terganggu.

Kritikan tersebut dipaparkan salah seorang anggota Komisi III DPR-RI Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Eva Kusuma Sundari dalam dialog Pro3 RRI tentang penegakan hukum di Indonesia. Eva mengharap, dengan demokrasi yang semakin matang dan proses hukum yang transparan di Indonesia dapat mencegah tindakan pelanggaran hukum.

“Saya mau kritik bagi partai politik. Tampaknya parpol juga bagian masalah juga dalam penegakan hukum. Ini agak repotnya juga diharapkan. Eksepetasi masyarakat, parpol dan parlemen dapat menjadi bagian dalam menyelesiakan masalah hukum, tapi faktanya justru bagian dari masalah. Jadi transformasi masyarakat untuk menjadi masyarakat yang intoleran terhadap korupsi menjadi terganggu. Dengan berat hati saya menyimpulkan penegakan hukum agak berat, karena parlemen yang seharusnya menjadi pendorong penyelesaian hukum, justru bagian dari masalah hukum”, tandas Eva.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Didi Irawadi Syamsudin menambahkan perlu dukungan dari semua anggota parlemen untuk memulai penegakan hukum di Indonesia dengan memberikan teladan dan contoh yang ideal bagi masyarakat. Senada dengan Eva, Didi juga menilai reformasi yang berumur hampir 12 tahun belum menghasilkan penegakan hukum yang menggembirakan. Untuk itu ia mengharapkan adanya kebersamaan dari semua pihak untuk meninggalkan kepentingan-kepentingan politik dan individu sesaat.

“Saya sangat mengerti lebih banyak yang bisa dilakuakan. Semestinya bisa lebih dari yang bisa dilakukan. Walaupun partai kami sedang berkuasa, kami tidak bisa melakukannya sendirian. Kita harus lakukan bersama-sam a. Imposible juga kalau kita berjuang sendirian. Reformasi sudah 12 tahun masih banyak sekali hal-hal yag harus dibenahi dalam penegakan hukum. Keadilan bagi semua golongan, pada saat ini belum maksimal, banyak interest-interest dan kepentingan-kepentingan. Tni tugas yang berat bagi komisi III sebagai mitra pemerintah dalam proses penegakan hukum”, ucapnya. (Nata)

Didi Irawadi : Politik Hakekatnya Alat Mencapai Tujuan Bersama

•June 13, 2011 • Leave a Comment

KBRN, Jakarta : Pada hakekatnya politik adalah alat untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki bersama. Namun, karena banyaknya konflik antar kepentingan yang mewarnai dinamika politik menjadikan makna politik terutama politisi saat ini berkonotasi negatif.

Pergeseran ini dipaparkan Anggota Komisi III DPR-RI dari fraksi Demokrat, Didi Irawadi Syamsudin dalam dialog bersama Pro3 RRI, Senin (13/6). Didi mengatakan, kerapnya silang kepentingan dan konflik-konflik yang muncul membuat pengertian politik yang ideal mejadi salah kaprah.

“Kita harus memandang politik, dalam pengertian umum selalu berkonotasi negatif. Ya sebenarnya teori-teori politik tidak mengajarkan berkonotasi negatif. Tapi kalau orang berjiwa politisi sudah pasti kesan masyarakat dan di mata orang pasti buruk. Beda kalau orang itu disebut negarawan. Politik itu kan bagaimana mencapai tujuan, tidak selalau berkonotasi buruk. Tapi karena berbagai kepentingan-kepentingan yang mana setiap orang melindungi kepentingannya takut terancam kepentingannya, sekalipun karena perilaku tidak benar. Itu yang membuat dunia politik yang ada di parelemen kadangkala lebih sarat karena kepentingan pribdai, untuk melindungi kepentingannya korpsnya, golongannya, sehingga seringkali politik ini tidak seperti makna idealisme politik yang sering kita diajarkan dalam kuliah dan yang kita tahu”, ujar Didi.

Ia mencontohkan adanya upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh pihak-pihak atau oknum yang tidak ingin kepentingannya terusik apabila KPK menjadi lembaga yang mempunyai fungsi wewenang yang kuat. Didi beranggapan hal ini disebabkan karena dunia politik khususnya parlemen sarat dengan kepentingan pribadi, korps, maupun golongan tertentu.

“Sehingga muncul politisasi hukum, itu jadi konotasi negatif, seperti contohnyamembuat perancangan-perancangan penguatan KPK yang ada selalu mendukung. Namun banyak pihak-pihak dan oknum-oknum yang tidak ingin KPK kuat, mungkin orang-orang ini akan terganggu kalau KPK jadi kuat, sehingga kalau bisa kekuatan KPK dibuat kurang menggigit”, imbuhnya. (Nata)

Anggota Komisi IX : Jamkesmas Tidak Untuk Biayai Operasi Payudara

•June 10, 2011 • Leave a Comment

Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi penghuni rumah tahanan (Rutan) dan Lembaga pemasyarakatan (Lapas) tidak mendukung bagi pembiayaan operasi kosmetik.

Hal tersebut dituturkan salah seorang anggota komisi IX DPR dari fraksi PKS, Lidya Hanifa Amalia dalam dialog bersama Pro3 RRI, Jumat (10/06) menanggapi rencana pembiayaan pengobatan tersangka penipuan Melindaa Dee seperti yang dikemukakan Mabes Polri beberapa waktu lalu.

Lidya juga menambahkan, Jamkesmas merupakan pelayananan kesehatan dasar bagi tahanan kurang mampu dan tidak mendukung biaya pengobatan akibat dari sebuah operasi atau bedah kosmetik.

“Alokasi dana Jamkesmas selain untuk masyarakat miskin, juga termasuk untuk yang terkena bencana alam, di jalanan dan mereka di tahanan. Dugaan saya, mungkin itu berfikirnya sangat sempit, bahwa untuk tahanan harus ditanggung negara dan seterusnya. Ya, landasan berfikirnya saya tidak tahu. Tetapi kalau kita lihat dengan apa yang sudah dilakukan, Jamkesmas sendiri tidak mengcover bedah plastik. Jadi seharusnya ini tidak dicover Jamkesmas. Disamping karena kasusnya, juga karena penyebab penyakit itu. Jamkesmas adalah pelayanan kesehatan dasar, kecuali yang rujukan dengan kondisinya gawat darurat”, terangnya.

Secara pribadi Lidya tidak sependapat dengan rencana pembiayaan pengobatan bagi Malindaa Dee tersebut. Ia beranggapan, penggunaan Jamkesmas diprioritaskan bagi masyarakat miskin yang kondisi kesehatannya sangat rentan.

“Jamkesmasnya saja alokasinya sudah tidak tepat. Sementara bagi masyarakat miskin sendiri untuk mendapat pelayanan rujukan sangat sulit, karena ada prosedur yang dipenuhi. Alokasi dana jamkesmas masih untuk 76,4 juta penduduk yang kategorinya rentan miskin dengan kondisi kesehatan mereka, itupun sebenarnya masih kurang, karenannya memang seharusnya prioritas yg lebih penting adalah yangg memang lebih berhak” terangnya. (Nata-RRI)